Karya seni rupa merupakan sesuatu yang dapat memuaskan perasaan
seseorang karena kehalusan dan keindahan yang diwujudkan dalam bentuk
rupa. Di wilayah Nusantara ini, beragam karya seni rupa terapan daerah
tumbuh dan berkembang sehingga menciptakan beragam karya seni seperti
yang kita nikmati saat ini.Karya seni rupa terapan Nusantara adalah
karya seni rupa yang berwujud dua atau tiga dimensi yang memiliki
fungsi tertentu dalam kehidupan sehari-hari yang terdapat di wilayah
Nusantara. Di wilayah Nusantara ini, terdapat beragam karya seni rupa
terapan daerah. Ragam seni daerah tersebut tumbuh dan berkembang dalam
sukusuku di wilayah Nusantara melalui proses waktu selama ratusan bahkan
ribuan tahun.
Keberadaan seni klasik di Indonesia pada masa sejarah tampak jelas pada
wujud dibangunnya rumah-rumah berukir oleh para pendatang yang masuk
Indonesia, yang sebelumnya berkediaman di Indo-Cina. Sejak adanya
hubungan Indonesia-India, lahirlah seni Hindu-Indonesia, terutama di
Jawa dan Bali. Peninggalan-peninggalannya yang hingga kini masih ada
adalah bangunan Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Candi Penataran.
A. Fungsi Karya Seni Rupa Terapan Nusantara
Karya seni rupa terapan Nusantara memiliki dua fungsi sebagai berikut.
- Pemenuhan kebutuhan yang bersifat praktis (kegunaan), yaitu karya yang fungsi pokoknya sebagai benda pakai, selain juga memiliki nilai hias. Misalnya, perabotan rumah tangga, seperti meja dan kursi, lemari, dan tekstil.
- Pemenuhan kebutuhan yang bersifat estetis (keindahan), yaitu fungsi yang semata-mata sebagai benda hias. Misalnya, karya batik atau tenun yang dibuat khusus untuk hiasan dinding dan benda-banda kerajinan untuk penghias ruangan, seperti topeng, patung, dan vas bunga.
Bentuk karya seni rupa terapan tersebut, di antaranya terdapat pada
bentuk rumah adat, senjata tradisional, transportasi tradisional, dan
seni kriya.
Rumah adat di Indonesia mempunyai bentuk yang sangat beragam. Jika
melihat bangunan rumah adat di Indonesia secara keseluruhan maka kita
akan dapatmembedakan bangunan rumah adat tersebut berdasarkan atapnya,
ragam hiasnya, bentuk, dan bahan bakunya. Misalnya, rumah Gadang di
Padang bentuknya memanjang ke samping dan rumah adat Minahasa bentuknya
memanjang ke belakang.
Rumah beratap joglo di Jawa, rumah beratap bubungan tinggi di Jambi,
rumah beratap gonjong di Minangkabau, dan rumah beratap limas terpenggal
di Papua. Bentuk rumah dengan tiang yang berkolong, atau yang biasa
disebut rumah panggung terdapat di Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi.
2. Senjata tradisional
Berbeda dengan masa lalu, beragam senjata tradisional saat ini lebih
sering digunakan sebagai peralatan untuk bekerja. Selain itu juga
digunakan sebagai perlengkapan acara ritual, perlengkapan pakaian adat,
pertunjukkan seni tradisional, dan sebagai benda hias.
Termasuk dalam jenis ini adalah parang dari Ambon, mandau dari
Kalimantan, sundu dari NTT, celurit dari Madura, pasa timpo dari
Sulawesi Tengah, karih dari Sumatra Barat, piso surit dari Sumatra
Utara, golok dari Jakarta, dan rencong dari Aceh. Sebagaimana senjata
tradisional umumnya, bilah senjata dibuat dari bahan logam besi. Bilah
mandau yang berkualitas terbuat dari batu gunung yang dilebur secara
khusus dengan hiasan berasal dari bahan perak, tembaga, bahkan emas.
Ragam hias senjata jenis rencong seringkali menggunakan motif ular,
bunga, dan lipan. Hiasan berupa jumbai-jumbai menyerupai rambut terdapat
pada sebagian senjata mandau. Pada sarungnya yang terbuat dari bahan
kayu masih diberi hiasan manik-manik dan bulu burung. Senjata khas Suku
Dayak Kalimantan ini memang penuh hiasan yang estetik.
Keris adalah senjata tradisional berujung lancip dan bermata dua yang
merupakan karya asli bangsa Indonesia yang adiluhung. Termasuk dalam
jenis ini adalah senjata kujang dari Jawa Barat. Ada dua kelompok jenis
keris, baik dari segi kegunaan, bahan, teknik pembuatan, dan
kualitasnya. Ada keris yang digunakan untuk keperluan ritual-ritual
adat, dibuat dari bahan-bahan pilihan dengan teknik yang lebih rumit dan
lama.
Kebanyakan keris ini diciptakan oleh para Mpu pada zaman dahulu.
Kelompok kedua adalah jenis keris yang kegunaannya lebih sebagai hiasan
atau untuk pertunjukan kesenian tradisional, termasuk untuk pelengkap
busana dalam acara adat perkawinan. Para pengrajin sekarang kebanyakan
membuat keris jenis ini. Bilah keris terbuat dari perpaduan logam besi
dan baja, bahkan ada yang berlapis emas. Dibuat dan dibentuk dengan
teknik tempaan. Gagang dan warangkanya umumnya terbuat dari kayu
pilihan. Bentuk bilahnya ada yang lurus ada yang berlekuk-lekuk.
Secara umum motif hiasan terdapat di setiap bagian keris. Permukaan
bilah keris umumnya terdapat tekstur yang membentuk alur tertentu yang
disebut pamor. Warnanya keperak-perakan karena terbuat dari baja putih.
Para Mpu zaman dahulu membuatnya dari bahan batu meteor yang sangat
langka.
3. Transportasi tradisional
Alat transportasi yang masih mempertahankan bentuk dan ciri khas
tradisionalnya masih dapat dijumpai di wilayah Nusantara. Misalnya,
perahu, kereta kuda, pedati, dan becak.
a. Perahu
Perahu yang digunakan di Nusantara memiliki bentuk dan ragam hias yang
beragam. Keragaman tersebut sebagai akibat perbedaan latar budaya,
pengaruh budaya asing, daya kreasi pembuatnya, dan ketersediaan sumber
daya alamnya. Semua pola hiasnya menggunakan warna, sebagian lagi paduan
warna dan pahatan. Sebagian besar perahu tersebut bermotif garis dan
bidang, baik bidang geometrik maupun bidang organik, sebagian lagi
bermotif hewan, tumbuhan, stilasi, pilin berganda, serta motif huruf
Posisi hiasan ada yang di seluruh bagian kapal, ada yang separuh bagian
kapal, atau salah satu bagian saja. Misalnya, perahu penangkap ikan
jenis compreng di Jawa Barat yang penempatan hiasannya di seluruh bagian
kapal.
b. Andong, pedati, dan becak
Kendaraan ini terbuat dari bahan kayu, termasuk bagian rodanya. Hanya
bagian-bagian tertentu yang harus menggunakan besi. Andong ditarik
dengan tenaga kuda. Di Jawa Timur andong disebut dokar. Setiap daerah
memiliki pola khas yang sudah menjadi tradisi dalam menghias andongnya.
Motif hiasan dokar di Jawa, terutama di Jawa Timur cenderung memiliki
ciri khas khusus yang ditempatkan di beberapa bagian. Warna hitam
mendominasi seluruh bagian dokar dengan motif hiasan warna cerah.
Selain andong, alat transportasi konvensional yang masih banyak
dimanfaatkan adalah pedati. Meski sudah jarang terlihat, namun di
beberapa daerah masih seringkali ditemukan kendaraan jenis ini.
Kendaraan pengangkut bertenaga sapi ini biasanya untuk mengangkut barang
dengan beban berat.
Jenis transportasi tradisional lainnya adalah becak. Becak dapat
dijumpai di Jawa, Sulawesi, dan Sumatra. Becak bermotor terdapat di
Gorontalo dan Pematang Siantar (Sumatra Utara). Becak motor merupakan
kombinasi antara motor dan becak. Keunikannya adalah karena sebagian
motor yang digunakan adalah motormotor tua yang kebanyakan peninggalan
zaman Belanda.
4. Seni kriya
Bentuk karya seni kriya Nusantara amat beragam. Beragam pula bahan alam
yang digunakan. Dari sejumlah seni kriya Nusantara, ada yang tetap
mempertahankan ragam hias tradisional dan ada pula yang telah
dikembangkan sesuai dengan tuntutan pasar. Seni kriya dapat
dikelompokkan menjadi seni kriya pahat, seni kriya tekstil, seni kriya
anyaman, dan seni kriya keramik.
a. Seni kriya pahat
Jenis, bentuk, bahan, dan teknik dalam seni pahat sangat beragam, dari
jenis ukir, patung, dan aneka kerajinan lainnya. Seni pahat selain
menggunakan bahan kayu, juga menggunakan batu, aneka logam, emas, serta
tulang dan kulit hewan. Bali merupakan daerah yang banyak menghasilkan
seni pahat berupa ukiran, patung, hingga barang-barang kerajinan. Patung
arca dengan bahan batu andesit juga dibuat di Bali. Bentuknya
menyerupai benda-benda purbakala.
Salah satu hasil dari seni pahat yang unik adalah wayang kulit dan
wayang beber yang terbuat dari kulit binatang, serta wayang golek yang
terbuat dari kayu. Kerajinan wayang kulit dan wayang beber terdapat di
daerah Yogyakarta, Surakarta, dan Sragen. Sedangkan wayang golek banyak
diproduksi di Jawa Barat.
Di Jepara (Jawa Tengah) tersohor dengan seni ukir khas Jawa. Daerah lain
di Jawa penghasil seni pahat dalam bentuk topeng, patung, ukiran, dan
lain-lain adalahKudus, Bojonegoro, dan Cirebon. Seni patung Suku Asmat
dan Kamoro di Papua terkenal dengan kekhasannya, dengan bentuk dan
ukuran yang beragam.
Di Palembang, karya ukir kayu juga diwujudkan pada perabot rumah tangga
dengan ciri khas menggunakan warna emas dan cokelat tua. Di Sumatra
Utara, seni pahat masyarakat Batak selain berupa ukiran hias pada
bangunan rumah adat, juga terdapat pada bendabenda yang berfungsi
sebagai perlengkapan ritual.
b. Seni kriya tekstil
Keragaman karya seni tekstil bisa dilihat dari jenis, teknik, ragam
hias, dan bahan yang digunakan. Jenis karya tekstil di Nusantara bisa
dikelompokkan menjadi dua, yaitu karya batik dan karya tenun.
1) Karya batik
Proses pembuatan kain batik dapat dilakukan dengan teknik tulis, teknik
cap, dan teknik lukis. Teknik batik tulis merupakan teknik yang paling
banyak diterapkan di Indonesia. Selain di Jawa, batik juga terdapat di
Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, dan Bali.
Corak batik Jawa umumnya bergaya naturalis dengan sentuhan warna-warna
yang beragam. Corak batik pesisir umumnya menunjukkan adanya pengaruh
asing. Pekalongan merupakan penghasil batik yang terkenal dan termasuk
dalam golongan batik pesisir. Daerah batik bercorak pesisir yang lain
adalah Madura, Tuban, dan Cirebon. Batik daerah ini didominasi perpaduan
warna yang kontras, seperti merah, kuning, cokelat, dan putih.
Sedangkan Batik Solo, Yogyakarta, dan sekitarnya umumnya menggunakan
warna-warna redup, seperti cokelat, biru, hitam, dan hijau.
2) Karya tenun
Ada dua jenis tenun, yaitu tenun ikatdan tenun songket. Yang membedakan
keduanya adalah pada teknik pembuatan dan bahan yang digunakan. Pada
songket ada tambahan benang emas, perak, atau benang sutra. Daerah yang
terkenal sebagai penghasil tenun ikat, antara lain Aceh, Sumatra Utara,
Sulawesi, Bali, Sulawesi Tengah, Toraja (Sulawesi Selatan), Kalimantan
Barat, Kalimantan Timur, NTT, Flores, dan Maluku. Sedangkan penghasil
songket yang terkenal, antara lain Aceh, Sumatra Barat, Riau Palembang,
Sumatra Utara, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Lombok, Nusa Tenggara, dan
Maluku.
Ragam hias pada kain tenun di Nusantara beragam coraknya. Ragam hias
dengan motif geometrik, flora, dan fauna mendominasi ragam hias karya
tekstil di Nusantara. Kain tenun kebanyakan dipakai untuk selendang,
sarung, kebaya, dan ikat kepala seperti pada pakaian adat.
Bahan yang dipakai untuk membuat kain tenun ditentukan oleh ketersediaan
alam daerah setempat. Di Sumbawa (NTT) semua produk kain tenun dibuat
dari benang kapas. Kain songket berbahan benang sutra dapat dijumpai di
Aceh, Sumatra Barat, Palembang, dan Bali, sedangkan yang berbahan dasar
benang katun dapat dijumpai di Flores.
c. Kriya anyaman
Bahan untuk membuat anyaman kebanyakan dari kulit bambu, batang rotan,
dan daun pandan. Bahan-bahan alam lainnya adalah pelepah pisang, enceng
gondok, dan serat kayu. Teknik pembentukan anyaman adalah dengan
memanfaatkan jalur lungsi (vertikal), jalur pakan (horizontal), dan
jalur gulungan (diagonal). Pembentukan pola motif anyaman diperoleh
dengan cara memanfaatkan perbedaan warna.
Kerajinan anyaman yang tersebar di Nusantara terdiri atas bentuk-bentuk
tradisional yang masih bertahan, pengembangan dari bentuk-bentuk
tradisional, hingga bentuk-bentuk desain baru. Tasikmalaya (Jawa Barat)
adalah salah satu pusat kerajinan anyaman dari berbagai bahan dan
bentuk. Di Halmahera (Maluku) rotan diproduksi menjadi tas punggung.
Di Papua, anyaman dapat ditemukan pada produksi gelang khas masyarakat
Papua yang terbuat dari serat kayu dan batang anggrek hutan.
d. Kriya keramik
Bahan dasar keramik adalah tanah liat. Benda keramik dibentuk dengan
berbagai teknik, antara lain teknik cetak, lempeng, pijit, dan pilin.
Setelah dibentuk, kemudian diberi hiasan. Jika sudah melalui proses
pengeringan, dibakar dengan suhu tertentu.
Keramik diproduksi untuk benda-benda hias atau benda pakai dengan
keragaman variasi bentuk, misalnya guci, pot bunga, vas bunga, dan
sebagainya. Daerah-daerah penghasil keramik tersebar luas di Nusantara,
antara lain di Yogyakarta, Malang, Cirebon, dan Banjarnegara
B. Apresiasi Terhadap Keunikan Gagasan Karya Seni Rupa Terapan Nusantara
Apresiasi berasal dari bahasa Inggris appreciate yang artinya menghargai
atau menilai. Apresiasi terhadap karya seni adalah suatu sikap atau
kegiatan menghargai nilai-nilai estetika ataupun nilai-nilai budaya yang
terdapat pada karya seni tersebut.
Apresiasi dilakukan dengan melihat, mengamati, mengerti, dan memahami
nilai keindahan suatu karya seni untuk kemudian memberikan penilaian
atau penghargaan. Apresiasi dapat melatih kepekaan batin dan daya pikir
dalam mengamati karya seni. Adapun sikap atau kegiatan apresiasi dapat
digolongkan dalam 3 tingkatan sebagai berikut.
- Apresiasi empatik, yaitu apresiasi yang menilai kualitas karya seni sebatas tangkapan indrawi.
- Apresiasi estetis, yaitu apresiasi yang menilai karya seni dengan melibatkan pengamatan dan penghayatan yang mendalam.
- Apresiasi kritik, yaitu apresiasi yang bertujuan menganalisa suatu karya seni dan memberikan kesimpulan kritik atas hasil pengalamannya. Teknik apresiasi kritik dapat dilakukan dengan mengamati benda secara langsung atau tidak langsung.
2. Makna dalam karya seni rupa terapan Nusantara
Karya-karya seni rupa terapan yang berkembang di wilayah Nusantara
umumnya sarat dengan makna atau simbol-simbol tertentu. Makna tersebut
berkaitan erat dengan nilai-nilai budaya yang berkembang dalam kehidupan
masyarakatnya. Nilai-nilai simbolis tersebut bisa dalam pemilihan
warna, bentuk, atau motifnya. Misalnya, di Sumatra, kain tenun bagi
masyarakat Melayu memiliki nama dan simbol tertentu, begitu pula
warna-warna yang digunakan, masing-masing pewarnaan erat kaitannya
dengan makna-makna tertentu.
3. Ragam hias dalam karya seni rupa terapan Nusantara
Ragam hias di setiap daerah sangat beragam. Ragam hias di daerah Jawa
umumnya bermotif tumbuhan, hewan, dan ada pula yang bermotif bidang
geometrik atau bidang organik. Di Toraja, Papua, dan Sumatra Utara
sering dijumpai ragam hias yang berpola geometrik. Motif manusia dan
hewan banyak digunakan pada ragam hias masyarakat Dayak di Kalimantan,
Batak, dan Papua. Motif atau corak ragam hias di Nusantara dapat
digolongkan dalam dua kelompok sebagai berikut.
- Pola hias abstrak, di antaranya adalah motif-motif geometrik dan organik, seperti motif tumpal, baji, kawung, meander, pilin, swastika, dan lain-lain.
- Pola hias abstraksi, antara lain diambil dari bentuk flora, fauna, dan manusia. Ragam hias abstraksi berkembang pesat setelah pengaruh Islam masuk Nusantara, yaitu dengan berkembangnya bentuk stilasi dan deformasi.
4. Ragam teknik penciptaan karya seni rupa terapan
Nusantara Teknik penciptaan karya seni rupa terapan Nusantara sangat beragam, antara lain sebagai berikut.
- Teknik pahat, yaitu mengurangi bahan dengan menggunakan alat pahat, seperti patung, relief, dan ukir.
- Teknik butsir, yaitu mengurangi dan menambah bahan sehingga menjadi bentuk yang diinginkan, misalnya kerajinan keramik atau gerabah.
- Teknik lukis, yaitu membuat karya seni dengan cara menggoreskan kuas atau peralatan lainnya pada bahan kertas, kain, kaca, dan kulit. Misalnya, lukisan di atas kain kanvas, lukisan pada kain batik, dan lukisan kaca.
- Teknik cor, yaitu membuat karya seni dengan membuat alat cetakan, kemudian dituangkan adonan berupa semen, gips, dan sebagainya sehingga menghasilkan bentuk yang diinginkan. Misalnya, membuat patung.
- Teknik las, yaitu membuat karya seni dengan cara menggabungkan bahan satu ke bahan lain sehingga membentuk karya seni yang unik. Misalnya, membuat patung kontemporer.
- Teknik konstruksi, yaitu menggabungkan bahan bangunan yang satu ke bangunan yang lain. Misalnya, rumah dan mesin.
- Teknik cetak, yaitu membuat karya seni dengan cara membuat mal (cetakan) terlebih dahulu. Misalnya, membuat keramik dan patung.
- Teknik tempa, yaitu membuat karya seni dengan cara ditempa (dibentuk)melalui proses perapian. Misalnya, membuat keris, kujang, dan benda-benda perhiasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar